Minggu, 06 Maret 2011

Politik Era Reformasi




01 Desember 1998
Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id
      Salah satu hasil pemikiran Kongres Umat Islam (KUI) adalah harapan bahwa presiden Indonesia mendatang adalah seorang pria. Tampaknya, itu harus dicegah menjadi realitas ataupun dorongan untuk menjadi suatu prasyarat, yang sangat tidak relevan dengan Pancasila dan UUD 1945. Walaupun sebatas ide, cukup sampai di sini, stop!. Pemikiran itu berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Orang harus memahami dulu hakikat bernegara di negara ini sebelum berbicara mengenai presiden. Kita mestinya memahami bagaimana hierarki negara, agama, dan warga negara. Sebab sudah jelas apa makna di balik pernyataan itu. Tidak hanya sekadar menjegal seseorang, tapi telah berupaya memaksakan kepentingan kelompok tertentu. Saya berharap, kelompok lain tidak bereaksi serupa. Kalau ini terjadi, hasilnya keributan baru. Maka, apa gunanya lagi kita ber-Pancasila? Saya tidak habis pikir, ketika dunia sudah demikian mengglobal, ketika harkat martabat manusia sudah diterima secara internasional karena memang sifatnya yang universal, kita di sini masih sibuk berkutat memperjuangkannya, malah dengan adanya pemikiran yang cenderung diskriminatif itu. Kenapa kita mesti meributkan calon presiden dari sudut "gender"? Hanya karena bayang-bayang akan munculnya seorang tokoh wanita (Megawati), serta-merta keluar ide seperti itu. Tak pelak, kita telah kehilangan "main stream" bagaimana menjadi warga negara yang baik! Inikah etika politik era reformasi? Kapan bangsa ini menjadi dewasa berdemokrasi?
Tjokorda Bagus Putra M., S.H., B.E.
Dalung, Kuta, Badung
Bali 80361


Kebijakan Otonomi Daerah Era Reformasi

oleh : Ikhsan Edwinsyah
sumber : http://jurnal-politik.co.cc
Dalam era reformasi, pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah. Pertama adalah UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua adalah UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. UU yang merupakan revisi atas UU yang disebut pertama.
Dalam perkembangannya, kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999 dinilai, baik dari segi kebijakan maupun segi implementasinya, terdapat sejumlah kelemahan Oleh karena itulah kebijakan tersebut mengalami revisi yang akhirnya menghasilkan UU No.32 tahun 2004.
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dari semua definisi yang ada, secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi, yaitu definisi dari segi perspektif administratif dan defenisi perspektif politik. Disini desentralisasi sesunggguhnya kata lain dari dekosentrasi. Dekosentrasi adalah pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi dalam suatu kementrian atau jawatan. Disini tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya. Dalam bahasa UU otonomi daerah, dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Ada beberapa alasan kenapa UU No. 22 tahun 1999 lahir. Hal ini lahir karena daerah menuntut kebebasan di era keterbukaan politik, juga karena pemerintah pusat ingin mengatasi masalah disintegrasi yang melanda Indonesia. Ada beberapa ciri yang menonjol dari UU ini, yaitu: pertama, demokrasi dan demokratisasi. Kedua, mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Ketiga, sistim otonomi luas dan nyata. Keempat, tidak menggunakan sistim otonomi yang bertingkat. Dan kelima, penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah dibiayai oleh anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN).
Apabila dikaji secara seksama, tampak jelas bahwa pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi masih setengah hati. Pemerintah tidak rela dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Hal ini terlihat jelas dalam pasal 7 (1) UU No. 22 tahun 1999, yang menyatakan bahwa: ”kewenangan daerah mencangkup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanaan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Kebijakan Otonomi Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004
UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, baik dari segi kebijakan maupun dari aspek implementasi, terdapat sejumlah kelemahan-kelemahan. Dari sisi kebijakan yang sebagaimana diuraikan sebelumya, mengandung sisi-sisi kelemahan sehingga memunculkan dampak negatif dalam implementasi otonomi daerah. Adapun kelemahan-kelemahan itu antara lain, pertama, aspak kelembagaan pemerintah daerah yang menempatkan posisi DPRD yang terlalu dominan. Kedua, akuntabilitas DPRD kepada publik. Ketiga, penyediaan layanan dasar yang belum memadai. Keempat, munculnya raja-raja kecil didaerah. Kelima, terjadi primodialisme dalam pengangkatan kepala daerah maupun jajaran birokrasi. Terjadi konflik dalam perebutan sumber daya daerah.
Karena kelemahan-kelemahan tersebut munculah desakan untuk merevisi UU No. 22 tahun 1999. Materi UU No. 32 tahun 2004 yang bertujuan menggantikan UU No.22 tahun 1999 selain memuat soal pilkada, juga memuat materi tentang pemerintahan daerah, atau orang kerap menyebutnya otonomi daerah. Perbedaan paling mendasar dari kedua UU tersebut terlihat dari kewenangannya. Apabila dalam UU no.22/1999 pemerintah daerah memiliki kewenangan bagi semua urusan pemerintah kecuali yang menjadi urusan pemerintah pusat, kini pada UU No.32/2004 hal itu tidak terdapat lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar