Minggu, 05 Juni 2011

Perkembangan dan “Pressure” Politik Di Indonesia


Sumber :http//www.google.com
| 22 January 2010 | 10:00  dari 6 Kompasianer menilai Aktual

     Menjelang 100 hari pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY, banyak sekali terjadi perkembangan politik di negeri ini, ada yang menilai positif dan ada juga  yang menilai negatif. Yang paling menonjol adalah perkembangan politik di gedung DPR, dimana pansus Century dengan gigihnya telah memeriksa tokoh besar negeri ini Wapres Boediono dan Menku Sri Mulyani. Kemudian yang menarik, mantan wapres Jusuf Kalla juga dimintai keterangan. Selanjutnya beberapa mantan pejabat BI, juga diperiksa, termasuk besan presiden, Aulia Pohan. Tidak ketinggalan Mantan Kabareskrim yang terkenal bak selebriti Komjen Susno Duadji juga dimintai keterangan.
     Suasana gedung DPR meriah, ada sesama anggota pansus yang ribut mulut, menarik sekali, ditonton masyarakat karena disiarkan langsung di televisi. Untuk menunjukkan kelasnya, beberapa anggota pansus nampak melakukan pressure kepada mereka yang diperiksa, bak interogator, untuk membuktikan bahwa kebijakan bail out itu salah. Mati-matian, ada yang menyerang dan ada yang membela.
      Mendadak para menteri dan parpol koalisi terkejut dan was-was, setelah Presiden SBY mengeluarkan pernyataan akan melakukan evaluasi terhadap para menteri yang sudah meneken kontrak. Memang mengangkat dan memberhentikan menteri adalah hak prerogatif presiden. Kalau sampai diberhentikan jelas citra pribadi, karier dan nama parpolnya akan merosot, dan bahkan bisa tercederai. Mereka baru menyadari hal ini, jelas kemudian menjadi takut. Yang paling ribut Golkar, karena anggota pansus Bamsat (Bambang Soesatyo) yang terus melakukan pressure, diterjemahkan Demokrat, Golkar tidak konsekwen, berkoalisi tapi sekaligus juga memusuhi.
       Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie akhirnya turun tangan karena melihat perkembangan situasi yang tidak kondusif tersebut. Dia menyatakan bahwa Golkar tetap konsisten sebagai partner koalisi. Akhirnya ada pertemuan antara SBY dengan Ical. Sebagai Ketua Umum Golkar, Ical kini sudah mempunyai bargaining power terhadap SBY sebagai mantan atasannya. Hasil pertemuan ternyata membuahkan rumor, seperti dilansir Jakarta Post, kabarnya keduanya sepakat akan menurunkan Sri Mulyani dari jabatan Menku. Memang isu tersebut menjadi kuat, Ical berseteru dengan SMI, Ical betemu SBY, nah, kini giliran   Ical yang melakukan pressure terhadap  Sri Mulyani.
       Hatta Rajasa, sebagai mantan Ketua Tim sukses SBY saat pilpres yang lalu, terlihat mampu memenangkan persaingan menjadi Ketua Umum PAN. Dengan dukungan embah reformasi Amin Rais, Hatta mampu melakukan pressure terhadap kelompok pendukung pesaingnya Drajat Wibowo yang kemudian menyerah sebelum bertanding. Dengan posisinya kini, maka Hatta menjadi salah satu orang terkuat, terdekat dan paling setia disamping presiden dari luar Partai Demokrat. Paling tidak, Amin Rais agak ternetralisir tidak mengganggu pemerintah lagi.
       Kasus yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar, membuahkan sebuah pressure tuntutan hukuman mati bagi tokoh atasnya, Antasari, Sigit Haryo Wibisono dan Williardi Wizar. Sementara para pelaku kelas bawah lainnya mendapat ganjaran tuntutan sekitar 17-18 tahun. Kembali tokoh Golkar berbicara. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, menilai bukti-bukti yang dibeber di pengadilan pada persidangan atas Antasari tidak meyakinkan. “Saya  nggak yakin pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen itu murni kejahatan yang dilakukan Antasari Azhar. Kalau kita lihat, belum ada bukti- bukti yang meyakinkan. Jadi  tuntutan hukuman mati bagi Antasari tidak tepat,” tegas Bambang di gedung DPR RI, Kamis (21/1). Ada pressure yang menginginkan Antasari mati, dan kini Bamsat juga melakukan pressure. Padahal kasus nampaknya lebih berat menyangkut masalah cinta-cintaan dibandingkan tugas negara.
      KPK telah menjawab keinginan masyarakat, yang melakukan pressure kepada penegak hukum, akhirnya Anggodo sebagai tokoh terekam yang sakti, telah ditangkap dan ditahan. Anggodo ditahan KPK pada Kamis (14/1). Dia ditahan dengan sangkaan pasal 15, 21, dan 53 UU 31/1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Koordinator Tim Pembela Suara Rakyat Antikriminalisasi, Petrus Selestinus dalam siaran pers Jumat (15/1) me, “Kriminalisasi Bibit-Chandra adalah alat yang dipakai Anggodo sebagai sarana untuk mencegah, menghalangi penyidikan tindak pidana korupsi. Kami mendesak agar KPK segera menjadwalkan pemeriksaan terhadap Susno Duadji, Parman, Wisnu Subroto, AH Ritonga, Bonaran Situmeang, I Ketut Sudiharsa dan lainnya.”
      Perkembangan politik yang menonjol lainnya. Presiden Kamis (21/1) mengundang tujuh petinggi negara ke Istana Bogor untuk melakukan pertemuan. Yang hadir adalah Ketua MPR, Taufik Kiemas, Ketua DPR, Marzuki Ali, Ketua DPD, Irman Guzman, Ketua MA, Harifin Tumpa, Ketua MK, Mahfud MD, Ketua BPK,Hadi Poernomo, Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqodas. Presiden didampingi Wapres serta tiga Menko. Setelah melakukan pertemuan selama empat jam, presiden menjelaskan pertemuan dilaksanakan dengan tujuan baik dan konstruktif untuk menjalin komunikasi dan sebagai wadah bertukar fikiran.
      SBY tidak mau berhipotesa soal dari Pansus Century, “Saya tidak mau jawab meski pansus berkesimpulan A, B atau C. Apapun penyelesaiaannya dikembalikan pada kerangka UUD dan aturan yang berlaku.” Selanjutnya presiden menyatakan, arah yang benar dari penyelidikan kasus. “Bahwa seperti keinginan rakyat, apakah ada korupsi, ada aliran dana yang tidak sepatutnya, apakah ada conflict of interest dari pengambilan keputusan atau tindakan terhadap Bank Century itu?” katanya. Jika menyangkut kebijakan, maka harusnya ada penjelasan tentang seluk beluk, situasi dan dasar-dasar pertimbangan ketika memutuskan kebijakan tersebut. Presiden menyatakan bahwa sebuah kebijakan tak bisa dikriminalkan.  “Kebijakan adalah sesuatu yang melekat pada pejabat negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewajiban,” katanya.
      Selain itu pertemuan juga membahas masalah impeachment atau pemakzulan. Seluruh pimpinan lembaga negara sepakat mejalankan sistem presidensial dan tidak saling menjatuhkan. “Check and balances bukan untuk saling menjatuhkan, atau saling mengintip” kata presiden. Menurut Ketua MK Mahfud MD, presiden hanya bisa di-impeach kalau melakukan tindak pidana. “Jadi (impeachment) bukan terkait masalah kebijakan. Kalau kebijakan itu pilihan yang harus diambil pada waktu itu. Kalau kriminal baru bisa di-impeach, dan itu bunyi UUD” katanya. Pertemuan juga membahas masalah ekonomi, kesejahteraan rakyat, demokrasi dan keadilan, kewilayahan, perdagangan bebas dan pemilu 2014.
      Dari beberapa fakta tersebut diatas, maka yang menjadi pusat masalah adalah kebijakan bail out  Bank Century. Yang jelas, para petinggi pengemban amanah itu terus disibukkan dengan urusan yang satu itu. Pressure terlihat cukup baik, para anggota pansus lebih menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan pansus-pansus terdahulu yang tidak menggigit. Para politisi muda demikian bergairah menunjukkan semangat. Memang tekanan di pansus sifatnya sektoral, untuk membuktikan kebijakan bail out century itu salah atau benar. Tekanan politisi muda yang kadang dinilai kurang simpatik, nampaknya hanya akan berakhir di internal pansus, sulit apabila ada yang berfikir  akan melakukan pressure kearah pemakzulan. Para petinggi negara yang bertemu di Istana Bogor, khususnya presiden dan Ketua Mahkamah Konstitusi sudah jelas menyatakan bahwa pemakzulan hanya bisa dilakukan apabila ada tindak kriminal.
      Jadi memang demikian yang terjadi di politik itu, selalu ada tindakan pressure, baik dengan bahasa halus ataupun yang kasar. Pihak-pihak yang berseberangan saling melakukan pressure, Golkar yang kemarin-kemarin demikian “strong,” kini melemah setelah ada pressure. Jelas dengan posisinya kini, Aburizal Bakrie harus mau kembali menyandingkan Golkar dengan partai penguasa Demokrat. Bamsat hanyalah sebuah riak yang pressure-nya tidak terlalu berbahaya. Demikian juga PDIP, sebagai partai yang bukan partner koalisi, peran Maruarar dan sang profesor juga termasuk riak dari gelombang kecil. Suara Ketua Pansus Idrus Marham juga tidak sekeras awalnya, sebagai Sekjen jelas searah dengan Ketua Umumnya. Bapak PDIP nampaknya sudah nyaman, dan justru mendukung pemerintah, tidak menyetujui pamakzulan. Rupanya sudah ada kesamaan faham antara dirinya dengan presiden.
      Nah, kini kita sampai dipenghunjung akhir tulisan. Menjadi pejabat itu, ya seharusnya cerdas dan cerdik, mampu membaca situasi. Keadaan masa kini belum tentu akan tetap demikian setelah 2014, karena pemerintah akan berganti pastinya. Hanya Tuhan yang tahu siapa yang akan memimpin nanti. Jangan sampai, kini  saat menjabat, ada peluang terus dimanfaatkan, berbahaya dimasa depan. Hingga 2014, pejabat yang duduk dikursi empuk itu  nampaknya akan aman, karena sang pemimpin sangat piawai mengatur strategi mengamankan pemerintahan.
      Kini peluang pemakzulan yang digembar-gemborkan itu makin mengecil, kalau ekor ular memukul jelas  tidak terlalu berbahaya, asal jangan kepalanya yang mematuk. Tapi bagaimana mau mematuk, semua kepala itu sudah terpegang kok. Memang hebat….. Penulis kini tertarik dengan Ketua PAN Hatta Rajasa…ini tokoh masa depan, mampu beradaptasi…tunggu deh, artikel tentang beliau akan dituliskan nanti. Salam bahagia.
PRAYITNO RAMELAN, Penulis yang matanya sering pedas dimuka PC.
Pendapat Saya  : Menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah.banyak yang harus dipertanggungjawabkan .dan seorang pemimpin juga harus memikirkan tindakan untuk mebuat seluruh Rakyat sejahtera.